Apa yang dimaksud dengan ‘monster’ dalam pribadi ? Siapa dan apa yang membentuk ‘monster’ itu. Apa akibat ‘monster’ yang dibawa sejak kecil hingga masa dewasa. Terakhir, bagaimana mengelolanya. Tulisan ini menjawab beberapa pertanyaan penting.
Apa itu monster
Setiap kita memiliki “monster”, atau hal yang menakutkan/ mengganggu dalam diri kita. “Monster” adalah area sensitif di mana kita mudah jatuh atau terganggu dengan situasi tertentu. Monster ini terbentuk sejak kecil, disebabkan adanya pengalaman yang tidak menyenangkan, traumatis atau sangat memalukan.
Saya beri contoh, monster dalam diri saya adalah “sensitif ditolak”. Saat saya dalam kandungan Ayah sudah berharap putra keenamnya ini perempuan. Sebab lima anak sebelumnya pria. Ayah mengancam akan menceraikan Mama jika masih “memberikan” Ayah anak laki-laki. Saat Ibu melahirkan saya, dia kecewa. Ayah juga kecewa, ternyata saya laki-laki.
Penolakan demi penolakan dialami oleh penulis, mulai dipaksa menggunakan rok saat balita hingga pengubahan nama. Akibatnya, sepanjang hidup sejak remaja hingga di awal pernikahan, penulis sangat mudah tersinggung saat mengalami penolakan tertentu. Sampai sekarang area sensitif ditolak itu masih tersisa, namun penulis sudah bisa menguasainya.
Beberapa contoh lain
1. Sensitif dan mudah jatuh dalam hal seksual (pornografi, pikiran kotor, selingkuh dll)
2. Sensitif dengan teguran (mudah marah karena harga diri yang rendah)
3. Takut bertemu dengan orang yang statusnya lebih tinggi (disebabkan arga diri yang rendah)
4. Butuh pengakuan orang lain (mudah ngambek kalau tidak dihargai/ dipuji/ dipromosikan)
5. Mencuri/ korupsi (miskin dalam nilai moral khususnya kejujuran)
6. Sulit mengambil keputusan (tidak berani ambil risiko, hanya mau di zona nyaman saja)
7. Sulit adaptasi di tempat baru (karena hidup masa lalu monoton, kurang variasi dan daya tahan stres rendah)
8. Mudah mengeluh dan bersungut (karena biasa hidup senang dan dimanja saat kecil, apa saja gampang karena limpah fasilitas)
9. Takut berprestasi karena diskriminasi gender. (Sebagian budaya yang masih merendahkan gender membuat sebagian perempuan takut berpretasi. Ortu mengutamakan anak laki)
10. Takut bicara di depan publik (Saat kecil sering disalahkan dan diejek Ortu kalau bicara)
Pembentuk monster
Setiap kita memiliki masa lalu, sebagian kita lewati dengan baik sebagian lainnya tidak. Ada tujuh faktor (orang dan peristiwa) yang membentuk “monster” dalam diri kita.
Pertama, mungkin kita pernah mengalami trauma, atau tekanan hidup di masa lalu. Apakah itu mengalami pelecehan atau kekerasan dari orangtua.
Kedua, Saat kecil kita dibeda-bedakan. Kakak atau adik Anda lebih disayang dari Anda sendiri. Ini sangat menyakitkan dan menyisakan luka mendalam citra diri. Seolah kita kurang berharga.
Ketiga, Ortu sibuk bekerja dan kita kurang dipedulikan. Kita besar tanpa kasih sayang, kurang sentuhan batin serta minim komunikasi
Keempat, kemiskinan. Karena tekanan ekonomi keluarga yang sangat terbatas bisa membuat kita minder dan peragu. Dalam pergaulan kita tersisih sebab kita dianggap remeh karena kemiskinan itu. Kita juga malu bergaul dengan mereka yang berasal dari strata atas.
Kelima, pengalaman seksual dini. Beberapa orang sudah jatuh dalam hubungan seks saat masih remaja. Akibatnya ada muncul rasa bersalah, dan jika tidak dikelola baik maka bisa menjadi monster.
Keenam, dibesarkan ortu yang selalu konflik. Hal ini menimbulkan ambivalensi pada anak, dan bisa menimbulkan keraguan saat dewasa apakah harus menikah atau tidak. Timbul rasa pemberontakan saat didekati lawan jenis.
Ketujuh, perceraian orangtua. Jika ini terjadi saat kecil, anak bisa merasa dirinyalah penyebab orangtua bercerai. Tumbuhlah sifat yang suka menyalahkan diri sendiri. Ini bisa jadi ‘monster’ yang membuat anda tidak nyaman.
Mengelola monster
Setiap orang punya “monster” dalam diri, anda tidak sendiri. Namun kita bisa menghadapinya denga bijak. “Monster-monster” itu tidak untuk diatasi, tetap dihadapi. Juga tidak untuk dihindari tapi dikelola dengan baik (baca “ Buku Seni Merayakan Hidup yang Sulit” - Gramedia)
Cara mengelola monster
Ada empat cara mengelola monster pribadi kita :
1. Kenali monster anda, dengan cara mengingat kembali peristiwa yang berbekas dalam diri anda. Sebagian pengalaman tidak menyenangkan cenderung kita lupakan, tekan atau abaikan. Jangan, Itu tidak sehat. Kita justru harus menggali, menemukan dan mengakui bahwa itu pernah terjadi. Jika sulit melakukan sendiri temui seorang konselor, atau ikuti psikotes jenis proyeksi dengan seorang psikolog ahli.
2. Monster itu biasanya datang berulang. Karena itu perhatikan dengan seksama situasi atau peristiwa apa yang menimbulkannya kembali. Kenali faktor pencetusnya. Misal, jika monster Anda adalah mudah jatuh dalam hal seksual, hindari tempat atau situasi serta orang yang membuat anda jatuh disitu. Andalah aktor utama mencegahnya. Tidak ada gunanya anda berdoa kepada Tuhan agar mejauhkan Anda dari cobaan, tetapi memasukkan diri sendiri ke dalam pencobaan
3. Miliki seseorang yang Anda percayai untuk berbagi, dimana anda bebas mengakui perasaan dan pikiran Anda saat bermasalah kembali dengan “monster” tersebut. Minta advis, dukungan moral dan dukungan spiritual berupa doa dan sebagainya.
4. Miliki kehidupan spiritual atau hubungan pribadi yang baik dengan Pencipta, sebab FirmanNya membantu kita saat jatuh dalam “monster” tersebut. Minta kekuatan agar dipulihkan kembali sesudah jatuh seketika lamanya. Kita boleh jatuh, tapi tetap berada di tanganNya.
“Monster” layaknya “manusia lama” dalam diri kita, bagian diri kita. Manusia yang dikuasai keinginan daging. Kelemahan atau monster ini selain perlu penebusan, membutuhkan pembaharuan dari hari ke sehari.
Kita bersyukur percaya kepada Allah yang penyabar, pengasih dan penyayang. Kita perlu menyerahkan “monster” kita ini kepada Tuhan, sambil berjaga-jaga supaya kita tidak jatuh ke dalamnya. Dia sabar membaharui kita sedikit demi sedikit. Karena itu kitapun perlu sabar jika menemukan diri gagal. Belajar ‘bersahabat’ dengan monster dan menaklukkannya.
Selamat mengenali dan mengelola ‘monster’ diri masing-masing.
.
Apa itu monster
Setiap kita memiliki “monster”, atau hal yang menakutkan/ mengganggu dalam diri kita. “Monster” adalah area sensitif di mana kita mudah jatuh atau terganggu dengan situasi tertentu. Monster ini terbentuk sejak kecil, disebabkan adanya pengalaman yang tidak menyenangkan, traumatis atau sangat memalukan.
Saya beri contoh, monster dalam diri saya adalah “sensitif ditolak”. Saat saya dalam kandungan Ayah sudah berharap putra keenamnya ini perempuan. Sebab lima anak sebelumnya pria. Ayah mengancam akan menceraikan Mama jika masih “memberikan” Ayah anak laki-laki. Saat Ibu melahirkan saya, dia kecewa. Ayah juga kecewa, ternyata saya laki-laki.
Penolakan demi penolakan dialami oleh penulis, mulai dipaksa menggunakan rok saat balita hingga pengubahan nama. Akibatnya, sepanjang hidup sejak remaja hingga di awal pernikahan, penulis sangat mudah tersinggung saat mengalami penolakan tertentu. Sampai sekarang area sensitif ditolak itu masih tersisa, namun penulis sudah bisa menguasainya.
Beberapa contoh lain
1. Sensitif dan mudah jatuh dalam hal seksual (pornografi, pikiran kotor, selingkuh dll)
2. Sensitif dengan teguran (mudah marah karena harga diri yang rendah)
3. Takut bertemu dengan orang yang statusnya lebih tinggi (disebabkan arga diri yang rendah)
4. Butuh pengakuan orang lain (mudah ngambek kalau tidak dihargai/ dipuji/ dipromosikan)
5. Mencuri/ korupsi (miskin dalam nilai moral khususnya kejujuran)
6. Sulit mengambil keputusan (tidak berani ambil risiko, hanya mau di zona nyaman saja)
7. Sulit adaptasi di tempat baru (karena hidup masa lalu monoton, kurang variasi dan daya tahan stres rendah)
8. Mudah mengeluh dan bersungut (karena biasa hidup senang dan dimanja saat kecil, apa saja gampang karena limpah fasilitas)
9. Takut berprestasi karena diskriminasi gender. (Sebagian budaya yang masih merendahkan gender membuat sebagian perempuan takut berpretasi. Ortu mengutamakan anak laki)
10. Takut bicara di depan publik (Saat kecil sering disalahkan dan diejek Ortu kalau bicara)
Pembentuk monster
Setiap kita memiliki masa lalu, sebagian kita lewati dengan baik sebagian lainnya tidak. Ada tujuh faktor (orang dan peristiwa) yang membentuk “monster” dalam diri kita.
Pertama, mungkin kita pernah mengalami trauma, atau tekanan hidup di masa lalu. Apakah itu mengalami pelecehan atau kekerasan dari orangtua.
Kedua, Saat kecil kita dibeda-bedakan. Kakak atau adik Anda lebih disayang dari Anda sendiri. Ini sangat menyakitkan dan menyisakan luka mendalam citra diri. Seolah kita kurang berharga.
Ketiga, Ortu sibuk bekerja dan kita kurang dipedulikan. Kita besar tanpa kasih sayang, kurang sentuhan batin serta minim komunikasi
Keempat, kemiskinan. Karena tekanan ekonomi keluarga yang sangat terbatas bisa membuat kita minder dan peragu. Dalam pergaulan kita tersisih sebab kita dianggap remeh karena kemiskinan itu. Kita juga malu bergaul dengan mereka yang berasal dari strata atas.
Kelima, pengalaman seksual dini. Beberapa orang sudah jatuh dalam hubungan seks saat masih remaja. Akibatnya ada muncul rasa bersalah, dan jika tidak dikelola baik maka bisa menjadi monster.
Keenam, dibesarkan ortu yang selalu konflik. Hal ini menimbulkan ambivalensi pada anak, dan bisa menimbulkan keraguan saat dewasa apakah harus menikah atau tidak. Timbul rasa pemberontakan saat didekati lawan jenis.
Ketujuh, perceraian orangtua. Jika ini terjadi saat kecil, anak bisa merasa dirinyalah penyebab orangtua bercerai. Tumbuhlah sifat yang suka menyalahkan diri sendiri. Ini bisa jadi ‘monster’ yang membuat anda tidak nyaman.
Mengelola monster
Setiap orang punya “monster” dalam diri, anda tidak sendiri. Namun kita bisa menghadapinya denga bijak. “Monster-monster” itu tidak untuk diatasi, tetap dihadapi. Juga tidak untuk dihindari tapi dikelola dengan baik (baca “ Buku Seni Merayakan Hidup yang Sulit” - Gramedia)
Cara mengelola monster
Ada empat cara mengelola monster pribadi kita :
1. Kenali monster anda, dengan cara mengingat kembali peristiwa yang berbekas dalam diri anda. Sebagian pengalaman tidak menyenangkan cenderung kita lupakan, tekan atau abaikan. Jangan, Itu tidak sehat. Kita justru harus menggali, menemukan dan mengakui bahwa itu pernah terjadi. Jika sulit melakukan sendiri temui seorang konselor, atau ikuti psikotes jenis proyeksi dengan seorang psikolog ahli.
2. Monster itu biasanya datang berulang. Karena itu perhatikan dengan seksama situasi atau peristiwa apa yang menimbulkannya kembali. Kenali faktor pencetusnya. Misal, jika monster Anda adalah mudah jatuh dalam hal seksual, hindari tempat atau situasi serta orang yang membuat anda jatuh disitu. Andalah aktor utama mencegahnya. Tidak ada gunanya anda berdoa kepada Tuhan agar mejauhkan Anda dari cobaan, tetapi memasukkan diri sendiri ke dalam pencobaan
3. Miliki seseorang yang Anda percayai untuk berbagi, dimana anda bebas mengakui perasaan dan pikiran Anda saat bermasalah kembali dengan “monster” tersebut. Minta advis, dukungan moral dan dukungan spiritual berupa doa dan sebagainya.
4. Miliki kehidupan spiritual atau hubungan pribadi yang baik dengan Pencipta, sebab FirmanNya membantu kita saat jatuh dalam “monster” tersebut. Minta kekuatan agar dipulihkan kembali sesudah jatuh seketika lamanya. Kita boleh jatuh, tapi tetap berada di tanganNya.
“Monster” layaknya “manusia lama” dalam diri kita, bagian diri kita. Manusia yang dikuasai keinginan daging. Kelemahan atau monster ini selain perlu penebusan, membutuhkan pembaharuan dari hari ke sehari.
Kita bersyukur percaya kepada Allah yang penyabar, pengasih dan penyayang. Kita perlu menyerahkan “monster” kita ini kepada Tuhan, sambil berjaga-jaga supaya kita tidak jatuh ke dalamnya. Dia sabar membaharui kita sedikit demi sedikit. Karena itu kitapun perlu sabar jika menemukan diri gagal. Belajar ‘bersahabat’ dengan monster dan menaklukkannya.
Selamat mengenali dan mengelola ‘monster’ diri masing-masing.
.
0 komentar:
Posting Komentar